https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/issue/feedJournal of Islamic Law2025-03-29T15:22:14+00:00Muhammad Lutfi Hakimluthfyhakim@gmail.comOpen Journal Systems<p style="text-align: justify;">The<em> Journal of Islamic Law</em> (e-ISSN <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2721-5040">2721-5040</a> & p-ISSN <a href="https://portal.issn.org/api/search?search[]=MUST=allissnbis=%222721-5032%22&search_id=24101097">2721-5032</a>) is a double-blind peer-reviewed journal published twice a year (in February and August) by <a href="https://iainptk.ac.id/">Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak</a>. This journal serves as a platform and forum for scholars and researchers interested in the issues related to Islamic law and society in Muslim and non-Muslim countries from various perspectives, covering both theoretical and practical studies. Its primary aim is to disseminate original research and address contemporary issues within the subject. The journal has been indexed by:</p> <div style="display: flex; justify-content: center; align-items: center; gap: 8px; flex-wrap: wrap;"><a href="https://www.scopus.com/sourceid/21101210522" target="_blank" rel="noopener"><img style="width: 100px; height: 40px;" src="https://e-journal.elkuator.com/public/site/images/muhammadlutfihakim/scopus.png" alt="scopus"></a> <a href="https://sinta.kemdikbud.go.id/journals/profile/9792" target="_blank" rel="noopener"><img style="width: 100px; height: 40px;" src="https://e-journal.elkuator.com/public/site/images/muhammadlutfihakim/sinta-1.png" alt="sinta"></a> <a href="https://garuda.kemdikbud.go.id/journal/view/19031" target="_blank" rel="noopener"><img style="width: 100px; height: 40px;" src="https://e-journal.elkuator.com/public/site/images/muhammadlutfihakim/garuda.png" alt="garuda"></a> <a href="https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=Ckzn1P4AAAAJ" target="_blank" rel="noopener"><img style="width: 100px; height: 40px;" src="https://e-journal.elkuator.com/public/site/images/muhammadlutfihakim/gs.png" alt="google scholar"></a></div> <div style="display: flex; justify-content: center; align-items: center; gap: 8px; flex-wrap: wrap;"> </div>https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2683Religion and Science: Analysing Medical Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (2010–2021)2025-01-26T03:37:41+00:00Ali Sodiqinali.sodiqin@uin-suka.ac.id<p>The advancement of knowledge, particularly in the medical field, often surpasses established religious norms, giving rise to new legal challenges. This presents a significant issue for Islamic scholars and modern institutions such as Majelis Ulama Indonesia (the Indonesian Ulema Council, MUI). This article examines the dialectical relationship between revelation (<em>naṣṣ</em>) and science in the medical fatwas issued by the MUI, focusing on how Islamic scholars construct legal arguments by integrating the Qur’an and Hadith with scientific findings to advance scientific <em>ijtihād</em> (Islamic legal reasoning). Adopting a qualitative, library-based methodology, the study meticulously analyses 20 medical fatwas issued by the MUI between 2010 and 2021. Using a functional interpretive paradigm that incorporates revelation, reason, and reality as foundational elements of fatwa formulation, the article finds that the MUI engages in a dialogical process between revelation and science in its medical fatwas. The dialectic between <em>naṣṣ</em> and scientific discoveries reveals two models of integration: deductive-falsification and inductive-verification. The deductive-falsification model appears in fatwas offering guidance for specific actions, while the inductive-verification model is applied in determining the legal status of scientific products. These integration models demonstrate that the MUI positions <em>naṣṣ</em> as the independent variable and scientific findings as the dependent variable in the development of scientific <em>ijtihād</em>. This approach emphasises the decisive role of revelation in determining the acceptability of scientific advancements as the foundation for legal rulings.</p> <p>[<em>Kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang medis, sering kali melampaui norma-norma agama yang mapan, sehingga menimbulkan berbagai persoalan hukum baru. Hal ini menjadi tantangan bagi para ulama dan lembaga Islam modern seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Artikel ini mengeksplorasi hubungan dialektika antara wahyu (</em>naṣṣ<em>) dan sains dalam fatwa-fatwa medis yang dikeluarkan MUI, serta bagaimana para ulama membangun dalil-dalil hukum dengan mengintegrasikan Alquran dan hadis dengan temuan-temuan ilmiah dalam pengembangan ijtihad ilmiah. Dengan mengadopsi metode kualitatif berbasis kepustakaan, penelitian ini menganalisis secara cermat isi dari 20 fatwa medis yang dikeluarkan MUI sejak tahun 2010 hingga 2021. Dengan menggunakan paradigma interpretatif fungsional yang mempertimbangkan wahyu, akal, dan realitas sebagai dasar pertimbangan fatwa, artikel ini menemukan bahwa MUI telah melakukan dialog antara wahyu dan sains dalam memproduksi fatwa-fatwa medisnya. Dialektika antara </em>naṣṣ<em> dan temuan-temuan ilmiah dalam fatwa-fatwa tersebut menunjukkan adanya dua model integrasi: deduktif-falsifikasi dan induktif-verifikatif. Model deduktif-falsifikasi ditemukan dalam fatwa-fatwa yang memberikan pedoman bagi umat Islam untuk mengamalkan tindakan-tindakan tertentu, </em><em>sedangkan model induktif-verifikatif muncul dalam fatwa-fatwa yang menetapkan status hukum (halal atau haram) bagi produk-produk sains. Kedua model integrasi ini menunjukkan bahwa MUI telah memosisikan </em>naṣṣ<em> sebagai variabel independen dan temuan-temuan ilmiah sebagai variabel dependen dalam pengembangan ijtihad ilmiah. Temuan-temuan ini menempatkan wahyu sebagai faktor penentu diterima atau tidaknya suatu produk ilmiah sebagai dasar putusan hukum.</em>]</p>2025-01-26T02:58:54+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3749Bridging Fiqh and Religious Practice: Actualizing the Function of Ḥāshiyah as a Form of Worship in the Scribal Traditions of Madurese Pesantren Literature2025-02-02T08:45:06+00:00Naufal Cholilynaufalcholily@uinsa.ac.idMahbub Ghozalimahbub.ghozali@uin-suka.ac.idAbd. Kholidalidoktaf@gmail.comWan Khairul Aiman Wan Mokhtarwkhairulaiman@unisza.edu.myRami İbrahim Mahmutramy.elbannalum@hotmail.com<p>The function of the <em>ḥāshiyah </em>(gloss), traditionally serving as an explanatory tool for words requiring further exploration, underwent a transformation in its application by <em>kiai</em> (local religious leader) in the <em>pesantren</em> (Islamic boarding school) of Madura. This shift arose from the need to actualize meanings and reinforce worship practices rooted in the Shāfi‘ī school of jurisprudence (<em>madhhab</em>). The emphasis on the Shāfi‘ī school was driven by the religious dynamics of 19th-century Madurese society, which leaned heavily toward mystical practices and <em>tarekat</em> (spiritual path) traditions. This study aims to identify the scribal process and glosses in the <em>fiqh</em> (Islamic jurisprudence) literature of Madurese <em>pesantren</em> and their connection to efforts to shape a new religious practice among Madurese people. A qualitative method, informed by social construction theory, was employed to guide the analysis of the data. This study found that the preferences and choices of specific Shāfi‘ī jurisprudence literature closely align with the literature commonly used in <em>pesantren</em> throughout Indonesia. This shared selection reflects the recognition of Madurese <em>kiai</em> and become an objective reality widely accepted as standard educational material in <em>pesantren</em>. In response to this objective reality, Madurese <em>kiai</em> incorporated additional explanations that not only elucidate meanings but also address questions about the religious practices of the Madurese people, which often gravitated towards <em>tarekat</em> connections and mystical traditions. These commentaries extend beyond simple linguistic clarification, challenging Islamic behaviors that deviate from <em>fiqh</em> logic. They serve as a transformative force within the Islamic tradition, facilitating the emergence of new religious practices and reinforcing the evolving function of commentary as a means of shaping and influencing religious behavior.</p> <p>[<em>Peralihan fungsi ḥāshiyah</em><em>,</em> <em>sebagai komponen penjelas kata-kata yang membutuhkan eksplanasi</em><em>,</em> <em>mengalami pergeseran dalam proses produksinya oleh para kiai pesantren di Madura. Peralihan ini didasarkan pada kebutuhan aktualisasi makna untuk menguatkan praktik ibadah yang berdasarkan fikih mazhab Shāfi‘ī. Kebutuhan penekanan atas mazhab Shāfi‘ī didasarkan pada dinamika keagamaan masyarakat Madura abad ke-19 Masehi yang cenderung bertendensi pada praktik mistis dan pengamalan tarekat. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan proses</em> <em>dialektis antara kiai yang berdialektika dengan literatur fikih yang menjadi teks sumber dengan </em><em>realitas sosial-keagamaan dalam proses pembentukan struktur dan tindakan hukum masyarakat Madura. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan alat analisis teori konstruksi sosial untuk menangkap proses penyalinan dan komentar yang berlangsung di dua pesantren tua di Madura. Penelitian ini menemukan bahwa teks-teks sumber yang disalin memiliki keidentikan dengan teks-teks yang dipelajari oleh pesantren-pesantren di wilayah Indonesia pada umumnya dengan tendensi kecenderungan penuh terhadap mazhab Shāfi‘ī. Struktur identik dalam pemilihan literatur menunjukkan literatur mazhab Shāfi‘ī sebagai realitas objektif yang diterima oleh seluruh pesantren sebagai bahan pengajaran. Meskipun literatur tersebut merupakan kesepakatan umum, para kiai memberikan respons makna yang bersifat subjektif dengan membawa seperangkat pengetahuan kognitif melalui penjelasan atas kosa-kata tertentu dengan mengambil teks-teks lain yang tidak ditemukan salinan materialnya. Penjelasan atas konsep kata tidak hanya berorientasi pada pemahaman makna, akan tetapi memuat refleksi kegelisahan terhadap realitas keagamaan masyarakat Madura yang cenderung berafiliasi dengan tarekat dan praktik-praktik mistik lainnya. Kritik atas tindakan keagamaan yang tidak sesuai dengan nalar fikih menunjukkan perluasan fungsi dari komentar dalam tradisi Islam sebagai komponen pembentukan tindakan keagamaan baru.</em>]</p>2025-02-02T07:39:31+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3605‘Ulamā’, Authority, and Political Relations: How the PCNU Jember Fatwā Influenced Public Policy on Gold Mining in Silo?2025-02-18T14:29:14+00:00Zainul Mun'imzainulmnm@iaida.ac.idWahfiuddin Rahmad Harahapwahfiuddinrahmadharahap_uin@radenfatah.ac.idRona Putraningratputra.pn@gmail.comBudhi Santosokangbudhi_uin@radenfatah.ac.idMuhammad Viegrimuhammadviegri@hukum.untan.ac.id<p><em>Fatwā</em>s (Islamic legal opinions) are often perceived as having limited influence on public policy, particularly in environmental and mining-related issues. Existing research suggests that despite opposition from <em>‘ulamā’</em> (Islamic scholars) and local communities, mining operations often persist due to strong political and economic backing. However, the <em>fatwā </em>issued by the Jember Branch Board of Nahdlatul Ulama (PCNU Jember)—which declared gold mining in Blok Silo impermissible (<em>ḥarām</em>)—produced a notably different outcome. This <em>fatwā</em> not only successfully halted mining activities but also played a decisive role in the revocation of government-issued mining permits. This study aims to analyze the mechanisms through which the PCNU Jember <em>fatwā</em> influenced public policy in the gold mining conflict in Blok Silo. Employing a socio-legal approach and qualitative methods, the research incorporates in-depth interviews with five key informants, including PCNU Jember officials and local community leaders, alongside document and media analysis from relevant sources. Drawing on Pierre Bourdieu’s theories of field and capital, this study argues that the effectiveness of the PCNU Jember <em>fatwā</em> was not solely rooted in its <em>fiqh</em>-based (Islamic jurisprudence) arguments but was reinforced by the symbolic and social capital held by NU scholars. The strong religious authority of <em>‘ulamā’</em> within Silo’s social structure, combined with PCNU Jember’s political connections with the local government, played a crucial role in ensuring the <em>fatwā</em>’s policy impact. This article argues that religious <em>fatwā</em>s can function as potent instruments of environmental advocacy, particularly in societies where <em>‘ulamā’</em> continue to exert significant influence over political and social spheres.</p> <p>[<em>Fatwa keagamaan sering kali dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan publik, terutama dalam isu lingkungan dan pertambangan. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa meskipun terdapat perlawanan dari ulama dan masyarakat, aktivitas pertambangan tetap berlangsung karena kuatnya dukungan politik dan ekonomi. Namun, fatwa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember tentang keharaman pertambangan emas di Blok Silo menunjukkan hasil yang berbeda. Fatwa ini tidak hanya berhasil menghentikan aktivitas pertambangan, tetapi juga mendorong pencabutan izin usaha pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana fatwa PCNU Jember dapat memengaruhi kebijakan publik dalam konflik pertambangan emas di Blok Silo. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal dengan metode kualitatif, yang melibatkan wawancara mendalam dengan lima informan, termasuk pengurus PCNU Jember dan tokoh masyarakat setempat, serta analisis dokumen dan berita dari sumber-sumber yang relevan. Dengan menggunakan teori </em>field <em>and</em> capital<em> dari Pierre Bourdieu, artikel ini menemukan bahwa keberhasilan fatwa PCNU Jember tidak hanya bertumpu pada argumentasi fikih dalam teks fatwa, tetapi juga pada modal simbolik dan sosial yang dimiliki oleh ulama NU. Otoritas keagamaan ulama yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Silo, serta hubungan politik PCNU Jember dengan pemerintah daerah, menjadi faktor utama yang memungkinkan fatwa tersebut berpengaruh terhadap kebijakan publik. Artikel ini berargumentasi bahwa fatwa keagamaan dapat berfungsi sebagai instrumen advokasi lingkungan yang efektif, terutama dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi otoritas ulama</em><em>.</em>]</p>2025-02-10T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3338The Language of Exclusion: Ideology and Power in the Fatwa of the Majelis Ulama Indonesia on Ahmadiyah2025-02-27T15:29:38+00:00Fariz Alnizarfariz@unusia.ac.id<p>This article analyses the fatwa issued by the Majelis Ulama Indonesia (MUI, the Indonesian Council of Ulama) on the Ahmadiyah sect through the frameworks of Teun A. van Dijk’s critical discourse analysis. Addressing a research gap on language as an instrument of power in religious discourse, this study examines the graphic structure, syntax, semantics, lexical choices, and rhetorical strategies to reveal how the fatwa not only serves as a legal guideline within Islamic jurisprudence but also functions as an ideological tool reinforcing MUI’s authority within Indonesia’s religious hierarchy. Findings indicate that passive constructions, abstraction, generalisation, hyperbole, and repetition are employed to obscure agency, amplify societal demands, and frame the Ahmadis as a threat to social stability and Islamic orthodoxy. Lexical choices, such as “deviant”, “apostate”, and “misleading”, legitimise the marginalisation of Ahmadiyah followers and reinforce the binary opposition between mainstream Muslims and the outgroup. Additionally, rhetorical strategies within the fatwa shape public perception, strengthen MUI’s authority, and potentially foster institutional discrimination. This study demonstrates that religious discourse extends beyond doctrinal guidance, functioning as a mechanism of social control that sustains exclusionary practices within the religious sphere, thereby contributing to the broader discourse on language, ideology, and power in Islamic studies in Indonesia.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Aliran Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Studi ini menyoroti kesenjangan penelitian terkait peran bahasa sebagai instrumen kekuasaan dalam wacana keagamaan, khususnya dalam membentuk kognisi sosial, konstruksi ideologis, dan dominasi institusional. Dengan menelaah struktur grafis, sintaksis, semantik, leksikal, dan retoris, penelitian ini mengungkap bahwa fatwa tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hukum Islam, tetapi juga sebagai alat ideologis yang </em><em>memperkuat</em><em> posisi MUI dalam hierarki keagamaan Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa strategi linguistik, seperti kalimat pasif, abstraksi, generalisasi, hiperbola, dan repetisi, digunakan untuk menyamarkan aktor, memperbesar tuntutan masyarakat, serta membingkai Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial dan kemurnian Islam. Pilihan leksikal, termasuk istilah “sesat”, “murtad”, dan “menyesatkan”, berperan dalam melegitimasi marginalisasi terhadap pengikut Ahmadiyah serta memperkuat oposisi biner antara Muslim arus utama dan kelompok luar. Selain itu, strategi retoris dalam fatwa ini membentuk persepsi publik, meningkatkan otoritas MUI, serta berpotensi mendorong diskriminasi institusional. Studi ini menunjukkan bahwa wacana keagamaan tidak hanya merefleksikan norma Islam, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mempertahankan praktik eksklusi dalam </em><em>ranah keagamaan. Dengan demikian, penelitian ini berkontribusi pada kajian bahasa, ideologi, dan kekuasaan dalam wacana Islam di Indonesia.</em>]</p>2025-02-20T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3410Integrating Islamic Law and Customary Law: Codification and Religious Identity in the Malay Buyan Community of Kapuas Hulu2025-03-02T14:49:33+00:00Zaimuariffudin Shukri Nordinnzaim@unimas.myIsmail Ruslanismailruslaniainpontianak@gmail.comYusriadi Yusriadiismailruslaniainpontianak@gmail.comNur Hamzahismailruslaniainpontianak@gmail.comDidi Darmadidi2buyan96@yahoo.co.id<p>This article analyzes the integration of Islamic law and customary law in shaping the religious identity of the Malay Buyan community in Kapuas Hulu, West Kalimantan, Indonesia. While Islamic law plays a central role in regulating social and religious life, local customary law remains deeply embedded in the community’s legal consciousness and socio-cultural framework. Previous studies have often treated these two legal systems as separate or even contradictory. However, this study challenges such a dichotomous perspective by demonstrating that Islamic law and customary law engage in an ongoing process of negotiation, resulting in an adaptive and contextually dynamic legal framework. Using a socio-legal approach, this research collects data through in-depth interviews with ten key informants, participant observation, and document analysis. The findings reveal that Islamic law does not replace customary law but is instead integrated into the local legal system, influencing various aspects of social order, family structures, and the sustainable management of natural resources. This integration is evident in the use of Islamic legal terminology, the substance of legal norms, the mechanisms for customary fines, and the role of Islamic religious leaders in the codification of customary law. These findings challenge the prevailing bipolar view that positions Islamic law and customary law as inherently opposing systems. Instead, this study highlights a dynamic and integrative interaction between the two legal traditions, ensuring both social harmony and legal continuity. Ultimately, the article argues that the coexistence of Islamic and customary law is not a source of conflict but a mutually reinforcing and evolving process that contributes to strengthening both religious and cultural identity in a predominantly Muslim society.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis integrasi hukum Islam dan hukum adat dalam pembentukan identitas keagamaan masyarakat Melayu Buyan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Meskipun hukum Islam memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan sosial dan keagamaan, hukum adat setempat tetap tertanam kuat dalam kesadaran hukum masyarakat. Penelitian sebelumnya sering kali memperlakukan kedua sistem hukum ini sebagai entitas yang terpisah atau bahkan bertentangan. Namun, studi ini menantang dikotomi tersebut dengan menunjukkan bahwa hukum Islam dan hukum adat terlibat dalam proses negosiasi yang berkelanjutan, sehingga membentuk kerangka hukum yang adaptif dan dinamis sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal, penelitian ini</em> <em>mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan sepuluh informan kunci, observasi </em><em>partisipatif, dan analisis dokumen. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak menggantikan hukum adat, tetapi diintegrasikan ke dalam sistem hukum setempat, memengaruhi berbagai aspek tatanan sosial dan budaya, struktur keluarga, serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Integrasi ini tampak dalam penggunaan terminologi fikih, substansi norma, mekanisme pembayaran denda adat, serta peran tokoh agama Islam dalam proses kodifikasi hukum adat. Temuan ini menantang pandangan bipolar yang menganggap hukum Islam dan hukum adat sebagai dua entitas yang bertentangan. Sebaliknya, penelitian ini menegaskan bahwa kedua sistem hukum tersebut berinteraksi secara dinamis dan integratif dalam menjaga harmoni sosial dan kontinuitas hukum. Pada akhirnya, artikel ini berargumentasi bahwa koeksistensi hukum Islam dan hukum adat bukanlah sumber konflik, tetapi merupakan proses yang dinamis dan saling memperkuat, yang berkontribusi pada penguatan identitas agama dan budaya dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam.</em>]</p>2025-02-28T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3679Interpreting Corporate Zakat as Trade Zakat: The Construction of Islamic Legal Knowledge and Zakat Collection Practices at Baitulmaal Munzalan Indonesia2025-03-19T17:34:17+00:00Khamim Khamimkhamim@polnep.ac.idRizky Adithyarizkyadithya59@gmail.comRaziki Waldanzikymart@gmail.comUbbadul Adzkiya’adzkiya@unwahas.ac.idUray M. Nurkhamim.sahid@gmail.com<p>Corporate zakat, or zakat levied on legal entities, is a contemporary phenomenon in the Muslim world. Although Indonesia is not an Islamic state, it has legalized corporate zakat for nearly three decades. Baitulmaal Munzalan Indonesia (BMI), a prominent zakat management institution in West Kalimantan, actively collects corporate zakat despite the absence of this concept in classical <em>fiqh</em> (Islamic jurisprudence). This study examines the Islamic legal understanding of the <em>‘āmil</em>s (zakat administrators) at BMI and their practices in collecting corporate zakat through the Zakat BMI application. Employing a qualitative approach, this research is based on in-depth interviews with five key informants, as well as observations of the Zakat BMI application, official website, and social media platforms. The findings reveal that the <em>‘āmil</em>s at BMI conceptualize corporate zakat through <em>qiyās</em> (analogical reasoning), equating it with trade zakat (<em>zakāh al-tijārah</em>), a subcategory of wealth zakat (<em>zakāt al-māl</em>). Although corporate zakat is not explicitly mentioned in classical <em>fiqh</em> literature, BMI legitimizes its implementation by referencing Qur’anic verses, hadith, contemporary Islamic scholarly opinions, fatwas, and national legal regulations. Furthermore, BMI adopts the concept of a legal entity (<em>shakhṣiyyah i‘tibāriyyah</em>) as a zakat-liable subject, as developed by contemporary Islamic scholars, and applies this concept through various zakat collection programs, including the Zakat BMI application. This study highlights the necessity of contextual interpretation of zakat norms within classical <em>fiqh</em> to expand the scope of Islamic legal implementation in addressing modern socio-economic challenges while underscoring the evolving perception of Islamic law among Muslim societies, particularly concerning zakat regulations.</p> <p>[<em>Zakat korporasi, atau zakat yang dikenakan pada entitas hukum, merupakan fenomena kontemporer dalam dunia Muslim. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, negara ini telah melegalkan zakat korporasi selama hampir tiga dekade. Baitulmaal Munzalan Indonesia (BMI), sebagai salah satu lembaga pengelola zakat terkemuka di Kalimantan Barat, secara aktif menghimpun zakat korporasi meskipun konsep ini tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik. Studi ini menganalisis pemahaman hukum Islam yang dimiliki oleh para amil zakat di BMI serta praktik penghimpunan zakat korporasi yang dilakukan melalui aplikasi Zakat BMI. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengandalkan wawancara mendalam dengan lima informan kunci serta observasi terhadap aplikasi kalkulator zakat, situs web resmi, </em><em>dan media sosial BMI. Temuan penelitian menunjukkan bahwa para amil zakat di BMI mengonseptualisasikan zakat korporasi melalui </em>qiyās<em> (analogi) dengan menyamakannya dengan zakat perdagangan, yang merupakan bagian dari zakat mal. Meskipun zakat korporasi tidak disebutkan secara eksplisit dalam literatur fikih klasik, BMI membangun legitimasi atas penerapannya dengan merujuk pada ayat-ayat Alquran, hadis, pendapat ulama kontemporer, fatwa, serta regulasi hukum nasional. Selain itu, BMI mengadopsi konsep badan hukum </em>(shakhṣiyyah i‘tibāriyyah)<em> sebagai subjek hukum dalam zakat, sebagaimana dikembangkan oleh para ulama kontemporer, dan menerapkannya dalam berbagai program penghimpunan zakat, termasuk aplikasi Zakat BMI. Studi ini menegaskan pentingnya interpretasi kontekstual terhadap norma zakat dalam fikih klasik guna memperluas cakupan penerapan hukum Islam dalam menjawab tantangan sosial-ekonomi modern, sekaligus menyoroti perubahan pemahaman masyarakat Muslim terhadap hukum Islam, khususnya dalam aspek zakat.</em>]</p>2025-02-28T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3539When the Sacred Meets the Market: The Commodification of Islamic Housing in Lima Puluh Kota, West Sumatra2025-03-29T15:22:14+00:00Muhammad Deni Putramdeniputra@uinmybatusangkar.ac.idAkhmad Rofikikangachmad13@gmail.comAna Toni Roby Candra Yudhaanatoniroby@uinsa.ac.idIvan Riyadiivanriyadi_uin@radenfatah.ac.idSiti Fadillasitifadilla@uinmybatusangkar.ac.id<p>This study examines the commodification of religion and structural tensions in Islamic housing finance in Lima Puluh Kota, West Sumatra, Indonesia. Despite its rapid growth, Islamic housing frequently encounters a paradox between religious claims and market logic, where Islamic symbols are leveraged as marketing strategies rather than ensuring substantive justice. This article analyzes the factors driving middle-class Muslim preferences for Islamic housing and the power imbalances between developers and consumers in Sharīʿah-compliant transactions. Employing a socio-legal qualitative approach, the research draws on in-depth interviews with 10 stakeholders (developers and buyers) and an analysis of contractual documents and promotional materials from the Perumahan Syariah Residence. Three primary motivations for purchasing emerge: religious adherence (particularly usury avoidance), economic considerations (flexible payment schemes), and the preference for religiously homogeneous communities. However, the findings reveal critical tensions: while <em>istisnā</em><em>ʿ</em> (manufacture-sale) contracts disproportionately burden developers with financial risks, <em>ijārah muntahiyah bi tamlīk</em> (lease-to-own) arrangements often marginalize consumers’ legal standing. The Islamic label frequently functions as a branding tool rather than a guarantee of justice, reinforcing spatial segregation among middle-class Muslims. This study argues that without business model reformulation and regulatory oversight, Islamic housing risks prioritizing commercial interests over the principles of <em>maqāṣid al-sharī</em><em>ʿ</em><em>ah</em> (the objectives of Islamic law). The findings underscore the necessity of standardized contracts and risk mitigation mechanisms to align practice with Islamic values.</p> <p>[<em>Artikel ini mengkaji fenomena komodifikasi agama dan ketegangan struktural dalam pembiayaan perumahan syariah di Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Indonesia. Meskipun mengalami pertumbuhan pesat, praktik perumahan syariah kerap terjebak dalam paradoks antara klaim religiositas dan logika pasar, di mana simbol-simbol Islam dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran tanpa disertai dengan implementasi keadilan substantif. Studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong preferensi kelas menengah Muslim terhadap perumahan syariah serta ketimpangan relasi kuasa antara pengembang dan konsumen dalam transaksi berbasis syariah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sosio-legal dengan mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam terhadap 10 informan (pengembang </em><em>dan pembeli), serta analisis dokumen kontrak dan materi promosi dari Perumahan Syariah Residence di Sumatera Barat. Hasil penelitian mengungkap tiga motif utama pembelian: kepatuhan religius (khususnya penghindaran riba), pertimbangan ekonomi (skema pembayaran yang fleksibel), dan preferensi terhadap lingkungan yang homogen secara agama. Namun, akad syariah yang digunakan dalam transaksi perumahan ini justru menciptakan risiko yang tidak seimbang. Akad </em>istisnāʿ<em> membebani pengembang dengan risiko finansial yang tinggi, sementara akad </em>ijārah muntahiyah bi tamlīk<em> berpotensi meminggirkan posisi hukum konsumen sepanjang masa sewa. Selain itu, label syariah dalam industri ini sering kali berfungsi sebagai alat pemasaran daripada sebagai jaminan keadilan substantif, yang pada akhirnya memperkuat segregasi spasial dalam komunitas Muslim kelas menengah. Studi ini berargumen bahwa tanpa reformulasi model bisnis dan pengawasan regulasi yang lebih ketat, perumahan syariah berisiko mengorbankan prinsip </em>maqāṣid al-sharīʿah <em>demi kepentingan komersial. Oleh karena itu, diperlukan standarisasi kontrak dan mekanisme mitigasi risiko yang lebih efektif guna memastikan keselarasan antara praktik perumahan syariah dengan nilai-nilai Islam.</em>]</p>2025-02-28T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##