Journal of Islamic Law https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil <p>The<em> Journal of Islamic Law</em>&nbsp;(e-ISSN <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2721-5040">2721-5040</a> &amp; p-ISSN <a href="https://portal.issn.org/api/search?search[]=MUST=allissnbis=%222721-5032%22&amp;search_id=24101097">2721-5032</a>) is a double-blind peer-reviewed journal published twice a year (in February and August) by <a href="https://iainptk.ac.id/">Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak</a>. First published on February 25, 2020, this journal serves as a platform and forum for scholars and researchers interested in the issues related to Islamic law and society in Muslim and non-Muslim countries from various perspectives, covering both theoretical and practical studies. Its primary aim is to disseminate original research and address contemporary issues within the subject. The journal has been registered as a <a href="https://search.crossref.org/?q=2721-5040&amp;from_ui=yes">CrossRef member</a> since 2020. Therefore, all articles published by this&nbsp;journal&nbsp;will have a unique Digital Object Identifier (DOI) number. On January 1, 2024, the Journal of Islamic Law was accepted for inclusion in <a href="https://suggestor.step.scopus.com/progressTracker/?trackingID=AF444AF2D1A74BC6">Scopus</a>. Additionally, the journal has been reaccredited, upgrading from <a href="https://drive.google.com/file/d/1_v5aMDFnGYCUEP-dSZ9ZZQLM6LfzZoVX/view">Sinta 4</a> to <a href="https://sinta.kemdikbud.go.id/journals/profile/9792">Sinta 1</a>, by the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of the Republic of Indonesia through Decree No. <a href="https://drive.google.com/file/d/1wJcsof2Btv6L4er-1vE8QB0552IjZRb8/view?usp=sharing">72/E/KPT/2024</a>.</p> Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak en-US Journal of Islamic Law 2721-5032 Violence Against Women in Pre-Marital Relationships: The Ngemblok Tradition among the Muslim Community in Rembang https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2680 <p>Violence against women occurs not only within households but also in pre-marital relationships, as exemplified by the <em>ngemblok</em> tradition practiced by the Muslim community in Rembang, Central Java. This tradition involves a marriage proposal process where the woman’s family presents goods (<em>seserahan</em>) to the prospective groom to symbolise the binding of their pre-marital relationship. This article aims to analyse the <em>ngemblok</em> tradition, examining the reasons and experiences of those involved, particularly women, and assessing the tradition from the perspectives of state law and human rights. Through in-depth interviews with 16 key informants, including participants in the tradition, the study found that <em>ngemblok</em> facilitates acquaintance between the bride and groom and their families through a matchmaker appointed by the woman’s family. The patriarchal culture grants the woman’s parents, especially the father, unilateral authority in selecting a partner for their daughter, often leading to sexual and psychological violence. Women frequently feel compelled to comply with their parents’ wishes to avoid social stigma and sanctions and to uphold ancestral traditions. This article argues that patriarchal cultural mechanisms render women powerless in ending pre-marital relationships, undermining gender equality and human rights, and perpetuating violence against women.</p> <p>[<em>Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, tetapi juga dalam hubungan pranikah. Fenomena tersebut terdapat dalam tradisi </em>ngemblok<em> yang dipraktikkan oleh komunitas muslim di Rembang, Jawa Tengah. Tradisi ini merupakan prosesi peminangan perkawinan yang diinisiasi oleh keluarga perempuan dengan memberikan sejumlah barang (seserahan) kepada calon pengantin laki-laki sebagai simbol pengikatan hubungan pranikah antara kedua calon pengantin. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis tradisi </em>ngemblok<em>, alasan dan pengalaman para aktor, terutama perempuan, dalam mempraktikkannya serta bagaimana perspektif hukum negara dan Hak Asasi Manusia terhadap tradisi tersebut. Melalui wawancara secara mendalam dengan 16 informan kunci yang terdiri dari sejumlah aktor yang terlibat dalam tradisi ini, penelitian ini menemukan bahwa tradisi </em>ngemblok<em> bertujuan untuk memfasilitasi kedua calon pengantin dan keluarga untuk saling mengenal dengan perantara mak comblang yang ditunjuk oleh keluarga perempuan. Budaya patriarki mengakibatkan orang tua dari perempuan, terutama ayah, memiliki otoritas sepihak dalam mencarikan pasangan bagi putrinya. Bahkan berkontribusi terhadap kekerasan seksual dan psikologis yang dialami perempuan mereka dalam hubungan pranikah tersebut. Para perempuan sering kali terpaksa mengikuti keinginan sepihak orang tuanya untuk menghindari stigma dan sanksi sosial dari masyarakat serta menjaga tradisi yang telah diwarisi oleh nenek moyang. Artikel ini berargumentasi bahwa mekanisme budaya berbasis patriarki menyebabkan ketidakberdaayaan perempuan sebagai korban dalam mengakhiri hubungan pranikah yang tidak hanya mencederai prinsip-prinsip kesetaraan gender dan Hak Asasi Manusia, tetapi juga pembiaran terhadap perlakuan kekerasan terhadap perempuan.]<br> </em></p> Trianah Sofiani Iqbal Kamalludin Raihanah Abdullah ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-01 2024-08-01 5 2 147 169 10.24260/jil.v5i2.2680 ICRP Jakarta and Interfaith Marriage Assistance in Indonesia: Civil Rights, Legal Interpretation, and Advocacy for Interfaith Couples https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2796 <p>The Indonesian Constitution guarantees its citizens the freedom to express their fundamental rights. However, in practice, this guarantee faces numerous challenges and exceptions, particularly in the context of interfaith marriages. This article aims to explore the role of the Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) in Jakarta in addressing the phenomenon of interfaith marriages. This study utilises James C. Scott’s theory of resistance to examine how ICRP Jakarta combats stereotypes and negative stigmas associated with interfaith marriages. Data collection techniques include direct field observations and in-depth interviews with twelve key informants, including ICRP Jakarta officials, religious leaders (Islam, Catholicism, and Buddhism), and interfaith couples utilising ICRP Jakarta’s services. A socio-legal approach is employed to demonstrate ICRP Jakarta’s efforts to accommodate interfaith marriage practices. The study finds that ICRP Jakarta’s resistance involves mainstreaming civil rights discourse, interpreting contradictory legal frameworks, and advocating for interfaith couples through juridical, social, and direct advocacy. This article argues that ICRP Jakarta’s resistance to stereotypes and negative stigmas against interfaith marriages exemplifies how research and practical action can foster positive change in a multicultural society. These findings have implications for shaping a more inclusive and tolerant understanding and policy towards interfaith marriages.</p> <p>[<em>Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan warga negara dalam mengekspresikan hak-hak dasar mereka. Namun, dalam praktiknya, jaminan ini menghadapi banyak tantangan dan pengecualian, terutama dalam konteks pernikahan beda agama. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta dalam menangani fenomena pernikahan beda agama. Dengan menggunakan teori resistensi James C. Scott, artikel ini mengkaji bagaimana ICRP Jakarta melawan stereotip dan stigma negatif terkait pernikahan beda agama. Teknik pengumpulan data mencakup observasi langsung di lapangan dan wawancara mendalam dengan dua belas informan kunci, termasuk pengurus ICRP Jakarta, tokoh agama (Islam, Katolik, dan Buddha), serta pasangan beda agama yang menggunakan layanan ICRP Jakarta. Pendekatan sosio-legal digunakan untuk mendemonstrasikan upaya ICRP Jakarta dalam mengakomodasi praktik pernikahan beda agama. Artikel ini menemukan bahwa resistensi yang dilakukan oleh ICRP Jakarta meliputi pengarusutamaan wacana hak-hak sipil, interpretasi kerangka hukum yang kontradiktif, serta advokasi bagi pasangan beda agama dalam bentuk advokasi yuridis, sosial, dan langsung. Artikel ini berargumen bahwa resistensi ICRP Jakarta terhadap stereotip dan stigma negatif terhadap pernikahan beda agama menunjukkan bagaimana penelitian dan aksi nyata dapat&nbsp;</em><em>berjalan beriringan untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat yang multikultural. Temuan ini berimplikasi pada pembentukan pemahaman dan kebijakan yang lebih inklusif dan toleran terhadap fenomena pernikahan beda agama.</em>]</p> Danu Aris Setiyanto Sekar Ayu Aryani Sri Wahyuni ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-07-29 2024-07-29 5 2 170 196 10.24260/jil.v5i2.2796 Knitting Reciprocity and Communality: Countering the Privatization of Family in Bimanese Muslim Local Marriage of Eastern Indonesia https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2771 <p>This article aims to introduce two distinctive forms of marriage recognized by Bimanese Muslims in West Nusa Tenggara, <em>nika taho</em> (good marriage) and <em>nika iha</em> (bad marriage), to outline how traditional marriages demonstrate the value of reciprocity and collectiveness. Arranging marriage (parental choice) and love marriage (self-choice), two types of marriage generally known in the existing literature, are both practiced by the Bimanese with additional essential requirements: getting permission from parents and relatives and giving consent by the couple to be. Based on ethnographic research conducted in 2017, a series of visits in 2021-2022, and the theory of marriage as “a sequence, place-based, practical actions” by Catherine Allerton, this article argues that marriage for the Bimanese is a meeting point of private intimacy and public activity (<em>rawi rasa</em>), which necessitates public interest in fostering the well-being of the family. This article underlines the interdependence of privacy and the social values of family and marriage lives, which is significant in countering a current state of affairs called the privatization of family, which is simultaneously practiced by the Bimanese along with the communality of marriage tradition. This opposite trend, unfortunately, is often used as a reason to reject the transformation and reform of family laws that emphasize public interests, such as the maturation of the age of marriage and the elimination of domestic violence against women. This article suggests that the value of communality and interconnectedness should go both ways, with public affairs influencing the institution of marriage and supporting families to fulfill their functions, while families accept and perform their social responsibilities in realizing the public good.</p> <p>[<em>Artikel ini memperkenalkan dua bentuk pernikahan yang dipraktikkan oleh masyarakat Muslim Bima di Nusa Tenggara Barat: </em>nika taho<em> (pernikahan yang baik) dan </em>nika iha<em> (pernikahan yang buruk), untuk menunjukkan nilai-nilai kesalingan dan kolektivitas dalam tradisi pernikahan mereka. Baik perjodohan (pilihan orang tua) maupun pernikahan atas dasar cinta (pilihan sendiri), seperti yang biasa dibahas dalam literatur, dipraktikkan oleh Muslim Bima dengan menambah dua persyaratan yang esensial: mendapatkan izin dari orang tua dan kerabat dan menerima persetujuan dari pasangan yang akan menikah. Berdasarkan penelitian etnografi yang dilakukan pada tahun 2017, serangkaian kunjungan pada tahun 2021-2022, dan merujuk teori Catherine Allerton tentang pernikahan sebagai “rangkaian tindakan praktis berbasis tempat”, artikel ini berargumen bahwa pernikahan bagi Muslim Bima berfungsi sebagai titik temu antara</em> <em>keintiman privat dan aktivitas publik (</em>rawi rasa<em>), di mana kepentingan publik diperlukan untuk mendukung kebaikan&nbsp;</em><em>bagi keluarga. Artikel ini menggarisbawahi saling ketergantungan antara nilai privasi dan sosial dalam konteks keluarga dan pernikahan, yang berfungsi signifikan dalam melawan tren privatisasi keluarga dewasa ini. Tren privatisasi, walaupun masih dipraktikkan bersamaan dengan komunalitas pada sisi tertentu dari tradisi pernikahan, sering dijadikan sebagai alasan untuk menolak transformasi dan reformasi hukum keluarga yang menekankan kepentingan publik, seperti menaikkan usia legal pernikahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Artikel ini menyarankan agar nilai-nilai komunalitas dan kesalingan harus berjalan dua arah: urusan publik selayaknya mempengaruhi institusi pernikahan dan mendukung keluarga dalam memenuhi fungsinya, sementara keluarga sepatutnya menerima dan menjalankan tanggung jawab sosial mereka dalam mewujudkan kebaikan publik.</em>]</p> Atun Wardatun ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-23 2024-08-23 5 2 197 221 10.24260/jil.v5i2.2771 Ḥusn al-Jawāb ‘an Ithbāt al-Ahillah bi al-Ḥisāb: Basyūnī ‘Imrān’s Method for Standardising the Determination of the Qamariyah Month in the Sultanate of Sambas (1913-1976) https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2775 <p>This article analyses the responses of Basyūnī ‘Imrān (1885-1976), a <em>muftī</em> (jurisconsult) and <em>qādhī</em> (judge) with the title Mahārāja Imām (highest religious official) in the Sambas Sultanate, to the debates surrounding the determination of the beginning of Ramaḍān and Eid al-Fitr at the turn of the twentieth century. The differences arose from conflicting claims of accuracy between two methods, <em>ḥisāb</em> (astronomical calculations) and <em>ru</em><em>ʾ</em><em>yah</em> (physical sighting of the moon), in determining the start of the lunar month among Muslims. Concerned about these issues, Basyūnī ‘Imrān addressed them in his manuscript written in Arabic-Malay (known as Aksara <em>Jawī</em>), titled <em>Ḥusn al-Jawāb ‘an Ithbāt al-Ahillah bi al-Ḥisāb</em> (1933). By employing a historical approach and content analysis of the manuscript, the authors find that Basyūnī ‘Imrān favoured the <em>ḥisāb</em> method for determining the start of the lunar month. In addition to referencing Sūrah al-Raḥmān verse 5, Sūrah Yūnus verse 5, and a hadith narrated by Imām Mālik, Basyūnī ‘Imrān also considered the geographical and social conditions of Muslims to standardise the observance of fasting and Islamic festivals in the Sultanate of Sambas and its surroundings. He argued that differences in determining the start of the lunar month should not lead to divisions among Muslims, as both methods are grounded in the same theological principles. This finding contributes to the history of Islamic legal thought in Indonesia by providing evidence of scholarly efforts to standardise the determination of the lunar month during his tenure as Mahārāja Imām in the Sultanate of Sambas from 1913 to 1976.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis respons Basyūnī ‘Imrān (1885-1976), </em>muftī<em> dan </em>qādhī<em> yang bergelar Mahārāja Imām di Kesultanan Sambas, terhadap polemik perbedaan dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri pada awal abad kedua puluh. Perbedaan tersebut disebabkan saling klaim kebenaran metode, antara </em>ḥisāb<em> dan </em>ruʾyah<em>, dalam penentuan awal bulan Qomariyah di kalangan umat Islam. Prihatin terhadap peristiwa tersebut, Basyūnī ‘Imrān meresponsnya sebagaimana yang tertuang dalam manuskrip berbahasa Arab-Melayu (dikenal sebagai Aksara </em>Jawī<em>) yang berjudul, </em>Ḥusn al-Jawāb ‘an Ithbāt al-Ahillah bi al-Ḥisāb<em> (1933). Dengan menggunakan pendekatan sejarah dan analisis konten manuskrip, para penulis menemukan bahwa Basyūnī ‘Imrān cenderung menggunakan metode </em>ḥisāb<em> dalam penentuan awal bulan Qomariyah.&nbsp;</em><em>Selain merujuk pada Sūrah al-Raḥmān ayat 5, Sūrah Yūnus ayat 5, dan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imām Mālik, Basyūnī ‘Imrān juga mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial umat Islam untuk menyeragamkan pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya Islam di Kesultanan Sambas dan sekitarnya. Menurutnya, perbedaan dalam penentuan awal bulan tersebut tidak boleh menimbulkan perpecahan di antara umat Islam, karena kedua metode tersebut berlandaskan pada dasar teologi yang sama. Temuan ini berkontribusi terhadap sejarah pemikiran hukum Islam di Indonesia dengan memberikan bukti adanya pemikiran ulama yang berupaya menyeragamkan penentuan awal bulan Qomariyah yang diterapkannya ketika menjabat sebagai Mahārāja Imām di Kesultanan Sambas pada tahun 1913 sampai 1976.</em>]</p> Saifuddin Herlambang Aulia Laily Rizqina Ridwansyah Ridwansyah Moh. Muslih Abdel Kadir Naffati ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-21 2024-08-21 5 2 222 241 10.24260/jil.v5i2.2775 Legal Non-Compliance and Kiai Hegemony: The Practice of Unregistered Marriages among the Madurese Muslim Community of Kubu Raya https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2819 <p>The practice of unregistered marriages (<em>n</em><em>ikah siri</em>) in traditional Muslim communities is often seen as non-compliance with state regulations. However, this behaviour cannot be understood without considering the influence of <em>kiai</em> (local religious leader) in the public sphere. This article explores the dynamics of unregistered marriage practices within the Madurese Muslim community of Kubu Raya, West Kalimantan, Indonesia. Employing a socio-legal research framework, the study collects data through in-depth interviews with 25 key informants, including widowed couples engaged in unregistered marriages, <em>kiai</em>, village officials, and community leaders. Drawing on Peter L. Berger’s theory of the social construction of reality, this article analyses the relationship between those involved in unregistered marriages and the hegemony of <em>kiai</em>. The study finds that unregistered marriages in the Madurese Muslim community are influenced by the <em>kiai</em>’s view that a marriage contract meeting the conditions of Islamic jurisprudence (<em>fiqh</em>) is valid without registration at the local Religious Affairs Office. This practice represents a social reality legitimised by religious authority. For the Madurese Muslim community, the religious legitimacy conferred by the <em>kiai</em> serves as a basis of faith, prompting them to engage in unregistered marriages despite this practice conflicting with state law. The article highlights the dominant role of <em>kiai</em> in shaping social realities that may diverge from compliance with state law in traditional Muslim communities.</p> <p>[<em>Praktik perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah siri) pada komunitas muslim tradisional sering kali dinilai sebagai ketidakpatuhan mereka terhadap regulasi administratif yang diatur oleh negara. Namun, perilaku tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hegemoni para kiai di ruang publik. Artikel ini mengkaji dinamika praktik nikah siri yang dilakukan oleh komunitas muslim Madura di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Artikel ini merupakan penelitian sosio-legal dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap 25 informan kunci yang terdiri dari para pasangan nikah siri yang berstatus sebagai duda dan janda, kiai, perangkat desa, dan tokoh masyarakat. Dengan menggunakan teori konstruksi sosial atas kenyataan dari Peter L. Berger untuk mengeksplorasi hubungan dialektis antara pelaku nikah siri dan hegemoni kiai, artikel ini menemukan bahwa nikah siri yang dipraktikkan oleh komunitas muslim Madura dipengaruhi oleh pandangan kiai bahwa akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan dalam fikih adalah sah, tanpa perlu mencatatkannya di kantor urusan agama setempat. Praktik ini merupakan bentuk kenyataan sosial yang telah mendapatkan legitimasi keagamaan dari kiai. Bagi masyarakat muslim Madura, legitimasi keagamaan yang diberikan oleh kiai menjadi modal keyakinan bagi mereka untuk melakukan nikah siri, meskipun perilaku tersebut bertentangan dengan hukum administrasi negara. Temuan ini menunjukkan bahwa hegemoni kiai yang dominan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat muslim tradisional dapat mengonstruksi kenyataan sosial yang tidak taat terhadap hukum negara.</em>]</p> Baihaqi Baihaqi Titik Triwulan Tutik Ahmad Musadad A. Mufti Khazin Mahtumridho Ghufron bin Simun ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-29 2024-08-29 5 2 242 268 10.24260/jil.v5i2.2819 Between Adherence to Madhhab and Adaptation to Context: Fatwās on Female Leadership in Nahdlatul Ulama-Affiliated Islamic Higher Education Institutions https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2725 <p>The issue of women in leadership has been a longstanding topic of debate among classical Islamic jurists, eliciting diverse responses from mainstream Islamic organizations in Indonesia. This article presents a comparative analysis of <em>fatwā</em>s (Islamic legal opinions) issued by the Forum of Bahtsul Masail (FBM) at two Nahdlatul Ulama (NU)-affiliated Islamic higher education institutions: Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, which prohibits female leadership, and Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, which permits it. Through a combination of literature-based and empirical approaches, the article highlights a significant contrast in the <em>istinbāṭ al-aḥkām</em> (derivation of legal rulings) employed by these two FBMs. FBM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng adopts the <em>qawlī</em> (literal) method, adhering to the majority views of classical Islamic jurists. In contrast, FBM Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo employs a <em>manhājī</em> (methodological) approach, incorporating minority opinions and reinterpreting texts within the context of modern societal changes. These contrasting <em>fatwā</em>s reflect a broader tension between <em>taqlīd</em> (adherence to precedent) and adaptation to evolving social contexts. Furthermore, this article argues that the educational backgrounds of the FBM actors, as well as the curricula taught in their respective <em>pesantren</em> (Islamic boarding schools), contribute to the differences in <em>fatwā</em>s. These differences reflect the internal dynamics within the <em>fatwā</em> production process in NU.</p> <p>[<em>Isu kepemimpinan perempuan telah lama menjadi topik perdebatan di kalangan ahli hukum Islam klasik yang telah memicu beragam respons di kalangan organisasi masyarakat Islam arus utama di Indonesia. Artikel ini menganalisis secara komparatif fatwa dari Forum Bahtsul Masail (FBM) di dua ma’had aly yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU): Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, yang melarang perempuan menjadi pemimpin, dan Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, yang memperbolehkannya. Artikel ini, dengan mengombinasikan pendekatan kepustakaan dan empiris, menemukan bahwa kedua FBM menggunakan metode penggalian hukum (</em>istinbāṭ al-aḥkām<em>) yang berbeda. FBM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng menerapkan metode </em>qawlī<em>, merujuk pada pendapat mayoritas ulama fikih, sementara FBM Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo menggunakan metode </em>manhājī<em>, mengadopsi pendapat ulama minoritas dan melakukan interpretasi (ulang) terhadap teks. Perbedaan fatwa tersebut dipengaruhi&nbsp;</em><em>oleh pendekatan yang berbeda antara taklid dalam bermazhab dan adaptasi terhadap perubahan sosial. Lebih jauh, artikel ini berargumentasi bahwa latar belakang pendidikan para aktor FBM, serta kurikulum yang diajarkan di masing-masing pesantren, berkontribusi pada perbedaan fatwa yang dihasilkan. Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan dinamika internal dalam proses produksi fatwa di kalangan NU.</em>]</p> Nur Hannan M. Syamsul Huda Mohamad Anang Firdaus Abdillah Afabih Yayan Musthofa ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-30 2024-08-30 5 2 269 287 10.24260/jil.v5i2.2725 Islamic Law and Gender Equality: Challenges and Reforms in Sri Lanka’s Muslim Marriage and Divorce Act https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2833 <p>This article examines the ongoing debates and reform efforts surrounding the Muslim Marriage and Divorce Act of 1951 (MMDA) in Sri Lanka. The Act has faced substantial criticism for its inability to adapt to the evolving needs of modern society, often prioritizing men’s interests over women’s rights. Despite numerous reform attempts, reaching a consensus on crucial provisions has proven challenging, creating significant obstacles to amending the MMDA. Employing library research, this article analyzes reports from various committees to assess current practices, which reveal conflicting perspectives between committees and civil society organizations. This study re-evaluates the MMDA’s provisions to determine whether proposed reforms align with Sharia law while meeting international legal standards, particularly Sri Lanka’s obligations to eliminate all forms of discrimination against women, while considering religious and cultural sensitivities. The article underscores the need for collaborative dialogue among stakeholders to foster reforms that address the evolving Muslim community’s legal needs, focusing on justice and equality.</p> <p>[<em>Artikel ini mengkaji perdebatan yang sedang berlangsung dan upaya reformasi seputar Undang-Undang Perkawinan dan Perceraian Muslim tahun 1951 di Sri Lanka. Undang-undang tersebut telah menghadapi kritik besar karena gagal beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat modern yang terus berkembang, yang sering kali memprioritaskan kepentingan laki-laki di atas hak-hak perempuan. Meskipun ada banyak upaya reformasi, mencapai konsensus tentang ketentuan-ketentuan utama telah terbukti menantang, menciptakan hambatan signifikan terhadap amandemennya. Dengan menggunakan penelitian kepustakaan, artikel ini menganalisis laporan dari berbagai komite untuk menilai praktik terkini, di mana terdapat pandangan yang saling bertentangan antara komite dan organisasi masyarakat sipil. Studi ini mengevaluasi kembali ketentuan-ketentuan tersebut untuk menilai apakah reformasi yang diusulkan selaras dengan hukum Syariah sekaligus memenuhi standar hukum internasional, khususnya kewajiban Sri Lanka untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, sambil mempertimbangkan kepekaan agama dan budaya. Artikel ini menggarisbawahi perlunya dialog kolaboratif di antara para pemangku kepentingan untuk mendorong reformasi yang memenuhi kebutuhan hukum komunitas Muslim yang terus berkembang dengan menekankan keadilan dan kesetaraan.</em>]</p> Shamila Dawood ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2024-08-31 2024-08-31 5 2 288 305 10.24260/jil.v5i2.2833