Journal of Islamic Law https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil Journal of Islamic Law Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak en-US Journal of Islamic Law 2721-5032 Religion and Science: Analysing Medical Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (2010–2021) https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2683 <p>The advancement of knowledge, particularly in the medical field, often surpasses established religious norms, giving rise to new legal challenges. This presents a significant issue for Islamic scholars and modern institutions such as Majelis Ulama Indonesia (the Indonesian Ulema Council, MUI). This article examines the dialectical relationship between revelation (<em>naṣṣ</em>) and science in the medical fatwas issued by the MUI, focusing on how Islamic scholars construct legal arguments by integrating the Qur’an and Hadith with scientific findings to advance scientific <em>ijtihād</em> (Islamic legal reasoning). Adopting a qualitative, library-based methodology, the study meticulously analyses 20 medical fatwas issued by the MUI between 2010 and 2021. Using a functional interpretive paradigm that incorporates revelation, reason, and reality as foundational elements of fatwa formulation, the article finds that the MUI engages in a dialogical process between revelation and science in its medical fatwas. The dialectic between <em>naṣṣ</em> and scientific discoveries reveals two models of integration: deductive-falsification and inductive-verification. The deductive-falsification model appears in fatwas offering guidance for specific actions, while the inductive-verification model is applied in determining the legal status of scientific products. These integration models demonstrate that the MUI positions <em>naṣṣ</em> as the independent variable and scientific findings as the dependent variable in the development of scientific <em>ijtihād</em>. This approach emphasises the decisive role of revelation in determining the acceptability of scientific advancements as the foundation for legal rulings.</p> <p>[<em>Kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang medis, sering kali melampaui norma-norma agama yang mapan, sehingga menimbulkan berbagai persoalan hukum baru. Hal ini menjadi tantangan bagi para ulama dan lembaga Islam modern seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Artikel ini mengeksplorasi hubungan dialektika antara wahyu (</em>naṣṣ<em>) dan sains dalam fatwa-fatwa medis yang dikeluarkan MUI, serta bagaimana para ulama membangun dalil-dalil hukum dengan mengintegrasikan Alquran dan hadis dengan temuan-temuan ilmiah dalam pengembangan ijtihad ilmiah. Dengan mengadopsi metode kualitatif berbasis kepustakaan, penelitian ini menganalisis secara cermat isi dari 20 fatwa medis yang dikeluarkan MUI sejak tahun 2010 hingga 2021. Dengan menggunakan paradigma interpretatif fungsional yang mempertimbangkan wahyu, akal, dan realitas sebagai dasar pertimbangan fatwa, artikel ini menemukan bahwa MUI telah melakukan dialog antara wahyu dan sains dalam memproduksi fatwa-fatwa medisnya. Dialektika antara </em>naṣṣ<em> dan temuan-temuan ilmiah dalam fatwa-fatwa tersebut menunjukkan adanya dua model integrasi: deduktif-falsifikasi dan induktif-verifikatif. Model deduktif-falsifikasi ditemukan dalam fatwa-fatwa yang memberikan pedoman bagi umat Islam untuk mengamalkan tindakan-tindakan tertentu,&nbsp;</em><em>sedangkan model induktif-verifikatif muncul dalam fatwa-fatwa yang menetapkan status hukum (halal atau haram) bagi produk-produk sains. Kedua model integrasi ini menunjukkan bahwa MUI telah memosisikan </em>naṣṣ<em> sebagai variabel independen dan temuan-temuan ilmiah sebagai variabel dependen dalam pengembangan ijtihad ilmiah. Temuan-temuan ini menempatkan wahyu sebagai faktor penentu diterima atau tidaknya suatu produk ilmiah sebagai dasar putusan hukum.</em>]</p> Ali Sodiqin ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2025-01-26 2025-01-26 6 1 1 20 10.24260/jil.v6i1.2683 Bridging Fiqh and Religious Practice: Actualizing the Function of Ḥāshiyah as a Form of Worship in the Scribal Traditions of Madurese Pesantren Literature https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3749 <p>The function of the <em>ḥāshiyah </em>(gloss), traditionally serving as an explanatory tool for words requiring further exploration, underwent a transformation in its application by <em>kiai</em> (local religious leader) in the <em>pesantren</em> (Islamic boarding school) of Madura. This shift arose from the need to actualize meanings and reinforce worship practices rooted in the Shāfi‘ī school of jurisprudence (<em>madhhab</em>). The emphasis on the Shāfi‘ī school was driven by the religious dynamics of 19th-century Madurese society, which leaned heavily toward mystical practices and <em>tarekat</em> (spiritual path) traditions. This study aims to identify the scribal process and glosses in the <em>fiqh</em> (Islamic jurisprudence) literature of Madurese <em>pesantren</em> and their connection to efforts to shape a new religious practice among Madurese people. A qualitative method, informed by social construction theory, was employed to guide the analysis of the data. This study found that the preferences and choices of specific Shāfi‘ī jurisprudence literature closely align with the literature commonly used in <em>pesantren</em> throughout Indonesia. This shared selection reflects the recognition of Madurese <em>kiai</em> and become an objective reality widely accepted as standard educational material in <em>pesantren</em>. In response to this objective reality, Madurese <em>kiai</em> incorporated additional explanations that not only elucidate meanings but also address questions about the religious practices of the Madurese people, which often gravitated towards <em>tarekat</em> connections and mystical traditions. These commentaries extend beyond simple linguistic clarification, challenging Islamic behaviors that deviate from <em>fiqh</em> logic. They serve as a transformative force within the Islamic tradition, facilitating the emergence of new religious practices and reinforcing the evolving function of commentary as a means of shaping and influencing religious behavior.</p> <p>[<em>Peralihan fungsi ḥāshiyah</em><em>,</em> <em>sebagai komponen penjelas kata-kata yang membutuhkan eksplanasi</em><em>,</em> <em>mengalami pergeseran dalam proses produksinya oleh para kiai pesantren di Madura. Peralihan ini didasarkan pada kebutuhan aktualisasi makna untuk menguatkan praktik ibadah yang berdasarkan fikih mazhab Shāfi‘ī. Kebutuhan penekanan atas mazhab Shāfi‘ī didasarkan pada dinamika keagamaan masyarakat Madura abad ke-19 Masehi yang cenderung bertendensi pada praktik mistis dan pengamalan tarekat. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan proses</em> <em>dialektis antara kiai yang berdialektika dengan literatur fikih yang menjadi teks sumber dengan&nbsp;</em><em>realitas sosial-keagamaan dalam proses pembentukan struktur dan tindakan hukum masyarakat Madura. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan alat analisis teori konstruksi sosial untuk menangkap proses penyalinan dan komentar yang berlangsung di dua pesantren tua di Madura. Penelitian ini menemukan bahwa teks-teks sumber yang disalin memiliki keidentikan dengan teks-teks yang dipelajari oleh pesantren-pesantren di wilayah Indonesia pada umumnya dengan tendensi kecenderungan penuh terhadap mazhab Shāfi‘ī. Struktur identik dalam pemilihan literatur menunjukkan literatur mazhab Shāfi‘ī sebagai realitas objektif yang diterima oleh seluruh pesantren sebagai bahan pengajaran. Meskipun literatur tersebut merupakan kesepakatan umum, para kiai memberikan respons makna yang bersifat subjektif dengan membawa seperangkat pengetahuan kognitif melalui penjelasan atas kosa-kata tertentu dengan mengambil teks-teks lain yang tidak ditemukan salinan materialnya. Penjelasan atas konsep kata tidak hanya berorientasi pada pemahaman makna, akan tetapi memuat refleksi kegelisahan terhadap realitas keagamaan masyarakat Madura yang cenderung berafiliasi dengan tarekat dan praktik-praktik mistik lainnya. Kritik atas tindakan keagamaan yang tidak sesuai dengan nalar fikih menunjukkan perluasan fungsi dari komentar dalam tradisi Islam sebagai komponen pembentukan tindakan keagamaan baru.</em>]</p> Naufal Cholily Mahbub Ghozali Abd. Kholid Wan Khairul Aiman Wan Mokhtar Rami İbrahim Mahmut ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2025-02-02 2025-02-02 6 1 21 45 10.24260/jil.v6i1.3749 ‘Ulamā’, Authority, and Political Relations: How the PCNU Jember Fatwā Influenced Public Policy on Gold Mining in Silo? https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3605 <p><em>Fatwā</em>s (Islamic legal opinions) are often perceived as having limited influence on public policy, particularly in environmental and mining-related issues. Existing research suggests that despite opposition from <em>‘ulamā’</em> (Islamic scholars) and local communities, mining operations often persist due to strong political and economic backing. However, the <em>fatwā </em>issued by the Jember Branch Board of Nahdlatul Ulama (PCNU Jember)—which declared gold mining in Blok Silo impermissible (<em>ḥarām</em>)—produced a notably different outcome. This <em>fatwā</em> not only successfully halted mining activities but also played a decisive role in the revocation of government-issued mining permits. This study aims to analyze the mechanisms through which the PCNU Jember <em>fatwā</em> influenced public policy in the gold mining conflict in Blok Silo. Employing a socio-legal approach and qualitative methods, the research incorporates in-depth interviews with five key informants, including PCNU Jember officials and local community leaders, alongside document and media analysis from relevant sources. Drawing on Pierre Bourdieu’s theories of field and capital, this study argues that the effectiveness of the PCNU Jember <em>fatwā</em> was not solely rooted in its <em>fiqh</em>-based (Islamic jurisprudence) arguments but was reinforced by the symbolic and social capital held by NU scholars. The strong religious authority of <em>‘ulamā’</em> within Silo’s social structure, combined with PCNU Jember’s political connections with the local government, played a crucial role in ensuring the <em>fatwā</em>’s policy impact. This article argues that religious <em>fatwā</em>s can function as potent instruments of environmental advocacy, particularly in societies where <em>‘ulamā’</em> continue to exert significant influence over political and social spheres.</p> <p>[<em>Fatwa keagamaan sering kali dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan publik, terutama dalam isu lingkungan dan pertambangan. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa meskipun terdapat perlawanan dari ulama dan masyarakat, aktivitas pertambangan tetap berlangsung karena kuatnya dukungan politik dan ekonomi. Namun, fatwa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember tentang keharaman pertambangan emas di Blok Silo menunjukkan hasil yang berbeda. Fatwa ini tidak hanya berhasil menghentikan aktivitas pertambangan, tetapi juga mendorong pencabutan izin usaha pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana fatwa PCNU Jember dapat memengaruhi kebijakan publik dalam konflik pertambangan emas di Blok Silo. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal dengan metode kualitatif, yang melibatkan wawancara mendalam dengan lima informan, termasuk pengurus PCNU Jember dan tokoh masyarakat setempat, serta analisis dokumen dan berita dari sumber-sumber yang relevan. Dengan menggunakan teori </em>field <em>and</em> capital<em> dari Pierre Bourdieu, artikel ini menemukan bahwa keberhasilan fatwa PCNU Jember tidak hanya bertumpu pada argumentasi fikih dalam teks fatwa, tetapi juga pada modal simbolik dan sosial yang dimiliki oleh ulama NU. Otoritas keagamaan ulama yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Silo, serta hubungan politik PCNU Jember dengan pemerintah daerah, menjadi faktor utama yang memungkinkan fatwa tersebut berpengaruh terhadap kebijakan publik. Artikel ini berargumentasi bahwa fatwa keagamaan dapat berfungsi sebagai instrumen advokasi lingkungan yang efektif, terutama dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi otoritas ulama</em><em>.</em>]</p> Zainul Mun'im Wahfiuddin Rahmad Harahap Rona Putra Budhi Santoso Muhammad Viegri ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2025-02-10 2025-02-10 6 1 46 66 10.24260/jil.v6i1.3605 The Language of Exclusion: Ideology and Power in the Fatwa of the Majelis Ulama Indonesia on Ahmadiyah https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3338 <p>This article analyses the fatwa issued by the Majelis Ulama Indonesia (MUI, the Indonesian Council of Ulama) on the Ahmadiyah sect through the frameworks of Teun A. van Dijk’s critical discourse analysis. Addressing a research gap on language as an instrument of power in religious discourse, this study examines the graphic structure, syntax, semantics, lexical choices, and rhetorical strategies to reveal how the fatwa not only serves as a legal guideline within Islamic jurisprudence but also functions as an ideological tool reinforcing MUI’s authority within Indonesia’s religious hierarchy. Findings indicate that passive constructions, abstraction, generalisation, hyperbole, and repetition are employed to obscure agency, amplify societal demands, and frame the Ahmadis as a threat to social stability and Islamic orthodoxy. Lexical choices, such as “deviant”, “apostate”, and “misleading”, legitimise the marginalisation of Ahmadiyah followers and reinforce the binary opposition between mainstream Muslims and the outgroup. Additionally, rhetorical strategies within the fatwa shape public perception, strengthen MUI’s authority, and potentially foster institutional discrimination. This study demonstrates that religious discourse extends beyond doctrinal guidance, functioning as a mechanism of social control that sustains exclusionary practices within the religious sphere, thereby contributing to the broader discourse on language, ideology, and power in Islamic studies in Indonesia.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Aliran Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Studi ini menyoroti kesenjangan penelitian terkait peran bahasa sebagai instrumen kekuasaan dalam wacana keagamaan, khususnya dalam membentuk kognisi sosial, konstruksi ideologis, dan dominasi institusional. Dengan menelaah struktur grafis, sintaksis, semantik, leksikal, dan retoris, penelitian ini mengungkap bahwa fatwa tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hukum Islam, tetapi juga sebagai alat ideologis yang </em><em>memperkuat</em><em> posisi MUI dalam hierarki keagamaan Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa strategi linguistik, seperti kalimat pasif, abstraksi, generalisasi, hiperbola, dan repetisi, digunakan untuk menyamarkan aktor, memperbesar tuntutan masyarakat, serta membingkai Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial dan kemurnian Islam. Pilihan leksikal, termasuk istilah “sesat”, “murtad”, dan “menyesatkan”, berperan dalam melegitimasi marginalisasi terhadap pengikut Ahmadiyah serta memperkuat oposisi biner antara Muslim arus utama dan kelompok luar. Selain itu, strategi retoris dalam fatwa ini membentuk persepsi publik, meningkatkan otoritas MUI, serta berpotensi mendorong diskriminasi institusional. Studi ini menunjukkan bahwa wacana keagamaan tidak hanya merefleksikan norma Islam, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mempertahankan praktik eksklusi dalam&nbsp;</em><em>ranah keagamaan. Dengan demikian, penelitian ini berkontribusi pada kajian bahasa, ideologi, dan kekuasaan dalam wacana Islam di Indonesia.</em>]</p> Fariz Alnizar ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2025-02-20 2025-02-20 6 1 67 88 10.24260/jil.v6i1.3338 Integrating Islamic Law and Customary Law: Codification and Religious Identity in the Malay Buyan Community of Kapuas Hulu https://e-journal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/3410 <p>This article analyzes the integration of Islamic law and customary law in shaping the religious identity of the Malay Buyan community in Kapuas Hulu, West Kalimantan, Indonesia. While Islamic law plays a central role in regulating social and religious life, local customary law remains deeply embedded in the community’s legal consciousness and socio-cultural framework. Previous studies have often treated these two legal systems as separate or even contradictory. However, this study challenges such a dichotomous perspective by demonstrating that Islamic law and customary law engage in an ongoing process of negotiation, resulting in an adaptive and contextually dynamic legal framework. Using a socio-legal approach, this research collects data through in-depth interviews with ten key informants, participant observation, and document analysis. The findings reveal that Islamic law does not replace customary law but is instead integrated into the local legal system, influencing various aspects of social order, family structures, and the sustainable management of natural resources. This integration is evident in the use of Islamic legal terminology, the substance of legal norms, the mechanisms for customary fines, and the role of Islamic religious leaders in the codification of customary law. These findings challenge the prevailing bipolar view that positions Islamic law and customary law as inherently opposing systems. Instead, this study highlights a dynamic and integrative interaction between the two legal traditions, ensuring both social harmony and legal continuity. Ultimately, the article argues that the coexistence of Islamic and customary law is not a source of conflict but a mutually reinforcing and evolving process that contributes to strengthening both religious and cultural identity in a predominantly Muslim society.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis integrasi hukum Islam dan hukum adat dalam pembentukan identitas keagamaan masyarakat Melayu Buyan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Meskipun hukum Islam memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan sosial dan keagamaan, hukum adat setempat tetap tertanam kuat dalam kesadaran hukum masyarakat. Penelitian sebelumnya sering kali memperlakukan kedua sistem hukum ini sebagai entitas yang terpisah atau bahkan bertentangan. Namun, studi ini menantang dikotomi tersebut dengan menunjukkan bahwa hukum Islam dan hukum adat terlibat dalam proses negosiasi yang berkelanjutan, sehingga membentuk kerangka hukum yang adaptif dan dinamis sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal, penelitian ini</em> <em>mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan sepuluh informan kunci, observasi&nbsp;</em><em>partisipatif, dan analisis dokumen. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak menggantikan hukum adat, tetapi diintegrasikan ke dalam sistem hukum setempat, memengaruhi berbagai aspek tatanan sosial dan budaya, struktur keluarga, serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Integrasi ini tampak dalam penggunaan terminologi fikih, substansi norma, mekanisme pembayaran denda adat, serta peran tokoh agama Islam dalam proses kodifikasi hukum adat. Temuan ini menantang pandangan bipolar yang menganggap hukum Islam dan hukum adat sebagai dua entitas yang bertentangan. Sebaliknya, penelitian ini menegaskan bahwa kedua sistem hukum tersebut berinteraksi secara dinamis dan integratif dalam menjaga harmoni sosial dan kontinuitas hukum. Pada akhirnya, artikel ini berargumentasi bahwa koeksistensi hukum Islam dan hukum adat bukanlah sumber konflik, tetapi merupakan proses yang dinamis dan saling memperkuat, yang berkontribusi pada penguatan identitas agama dan budaya dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam.</em>]</p> Zaimuariffudin Shukri Nordin Ismail Ruslan Yusriadi Yusriadi Nur Hamzah Didi Darmadi ##submission.copyrightStatement## http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2025-02-28 2025-02-28 6 1 89 111 10.24260/jil.v6i1.3410